Monday, June 8, 2015

PerlindunganTerhadap Nasabah Bank Masih Lemah
Oleh : Huzna Zahir

Edisi 725 | 15 Feb 2010 |
Salam Perspektif Baru,

Kita akan membicarakan pembobolan anjungan tunai mandiri (ATM). Beberapa waktu lalu kita digemparkan kasus banyak sekali dana nasabah yang dibobol oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan memanfaatkan sejumlah kelemahan yang ada dalam sistem keamanan perbankan. Pada kesempatan ini hadir Husna Zahir, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

Menurut Huzna, pembobolan dana nasabah melalui ATM adalah pelanggaran hak konsumen atas keamanan dan kenyaman dalam menggunakan produk barang atau jasa. Pada saat menggunakan kartu ATM, kita menggunakan sistem yang diterapkan oleh bank dan itu tidak aman.

Huzna mengatakan kasus tersebut bisa menjadi pembelajaran bagi bank. Selain jaminan penggantian, security system juga harus dibenahi. Kontrol bank pun harus diperbaiki, bukan hanya dari sisi bank saja tapi dari sisi Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas bank juga harus dibenahi dan ditingkatkan. Itu yang kita harapkan ke depan. Bukan hanya sekadar reaksi sesaat karena ada kasus, setelah itu terjadi lagi kasus-kasus sejenis dengan modus yang mungkin berbeda lagi.

Berikut wawancara Ansy Lema dengan Huzna Zahir.

Pembobolan dana nasabah melalui anjungan tunai mandiri (ATM) merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan konsumen dan nasabah. Dari pencermatan Anda selaku ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), sejauh mana bank bertanggung jawab?

Kita melihat selama ini bank tidak pernah bertanggung jawab mengenai hal ini. Di satu sisi, kita melihat ada unsur kegagalan bank dalam menjaga keamanan bank, baik dari sistem atau teknologi yang mereka gunakan. Terbukti ini bisa terbobol sehingga merugikan nasabah dan konsumen. Sebetulnya kasus ini bukan sekarang saja. Ramainya memang baru sekarang, tapi sebenarnya sudah ada pengaduan-pengaduan pada tahun-tahun sebelumnya, tapi tidak bersifat masal seperti saat ini. Dalam hal ini selalu posisi konsumen atau nasabah yang disalahkan karena pihak perbankan selalu merujuk pada data perbankan yang mereka miliki. Melalui catatan perbankan, mereka melihat transaksi sukses dan normal. Jadi sepenuhnya itu menjadi kesalahan nasabah yaitu tidak hati-hati dalam menjaga personal identification number (PIN) atau meninggalkan ATM dalam keadaan kondisi masih aktif. Hal-hal yang sebetulnya tidak masuk akal dari sisi konsumen, artinya kerugian yang dialami oleh konsumen dalam hal ini nasabah sangat variatif kasusnya.

Dalam kasus yang terakhir ini, apakah alasan-alasan demikian masih bisa diterima dengan akal sehat?
Dalam kasus terakhir, terbukti nasabah telah menjaga kartu dan PIN tapi ternyata ini tetap terjadi. Terbukti bahwa bank mengabaikan hal-hal yang pernah terjadi. Setelah banyak nasabah terkena dampak, mereka kemudian mulai bereaksi dan memberikan berjuta alasan untuk hal itu. Contoh kasus dalam kejadian kemarin, bank kemudian secara otomatis mengganti uang nasabah yang hilang, dan sudah terjadi pada beberapa nasabah. Semoga semua nasabah akan menerima uang pengganti dalam proses waktu yang tidak lama. Contoh lainnya pada 2008, nasabah melaporkan hal ini dan bank meresponnya hanya dengan menyampaikan bahwa nasabahnya kebobolan. Dari penjelasan ini terkesan bahwa nasabah lemah ketika berhadapan dengan bank, ini betul karena kita tidak punya bukti lain.

Apakah ada mekanisme verifikasi terkait dengan hal ini? Seberapa jauh kita dapat mengakses data dari perbankan?
Kita tidak bisa mengakses data dari perbankan dan bank tidak bisa memberikan informasi kalau kita kebobolan karena tidak langsung diinformasikan seperti itu. Menyambung yang saya sampaikan, bank mengatakan uang ditransfer ke A, B, C, tapi setelah diselidiki adalah fiktif padahal dari bank yang sama. Jadi seharusnya itu menjadi tanggung jawab dari bank karena pada saat pembukaan rekening tidak ada hal itu. Konsumen atau nasabah harus merelakan uang itu karena tidak bisa dilacak, dan kehilangan itu tidak menjadi tanggung jawab bank.

Pembobolan dana nasabah melalui ATM sudah terjadi. Apakah ini karena lemahnya sistem teknologi informasi ATM atau bentuk kejahatan yang dilakukan secara sistematis atau keduanya?

Yang pasti memang ada unsur kejahatan dan lemahnya sistem serta teknologi karena jelas bank tidak mampu mengantisipasi potensi-potensi penyalahgunaan teknologi atau sistem yang mereka gunakan dan berakibat seperti ini.

Ketika konsumen melakukan tuntutan atau complain kepada pihak bank, apa jaminan yang akan diberikan kepada konsumen oleh pihak bank agar muncul lagi rasa percaya?
Menurut saya, untuk kasus seperti ini cara bank merespon hal itu akan sangat mempengaruhi terhadap menjaga kepercayaan nasabah.

Apakah respon yang diberikan bank pada kasus terakhir sudah cukup memberikan keamanan bagi nasabah?

Kalau kemudian mereka mendapat proses ganti rugi yang cepat mungkin bisa membangun kepercayaan, tapi tak cukup sampai di situ. Bank juga harus bisa menunjukkan bahwa tidak hanya ganti rugi, tetapi juga meningkatkan dan melakukan perbaikan keamanan dari sistem yang mereka lakukan. Contoh yang sederhana yaitu keberadaan closed circuit television (CCTV) atau kamera pengintai pada setiap counter ATM masih belum ada.

Dari perspektif para konsumen atau Anda yang melakukan advokasi terhadap para konsumen, apakah bisa dikenakan pasal atau dituntut secara hukum untuk kejahatan perbankan di dalam Undang-Undang (UU) tentang Perlindungan Konsumen?

Yang pasti ini adalah pelanggaran hak konsumen atas keamanan dan kenyaman dalam menggunakan produk barang atau jasa. Pada saat menggunakan kartu ATM, saya menggunakan sistem yang diterapkan oleh bank dan itu tidak aman. Tentu ada hak atas ganti rugi atau kompensasi apabila mereka dirugikan pada saat menggunakan produk dan jasa itu. Tapi lagi-lagi dari sisi kasus ini, bank melihatnya sebagai kasus perbuatan kriminal atau kejahatan yang dilakukan oleh orang lain sehingga kemudian mereka dengan mudah menghindar, dalam arti bukan tanggung jawab mereka karena kesalahan dipandang bukan ada di bank. Mungkin secara spesifik kita bicara pasal di UU tentang Perlindungan Konsumen agak sulit. Tapi yang pasti sebetulnya banyak Peraturan Bank Indonesia (PBI) yang harusnya bisa melindungi nasabah dalam hal itu. Mungkin ada salah satu dari UU Perlindungan Konsumen yang bisa digunakan bahwa setiap pelaku usaha dalam memberikan produk atau jasa harus sesuai dengan standar. Persoalannya, apakah ada standar yang tidak dia penuhi? Apakah standar keamanan atau perlindungan terhadap nasabah memang berjalan dengan baik atau tidak. Jadi kalau kita mau mengkaitkan dengan UU Perlindungan Konsumen maka paling tidak dari sisi itu. Sekarang masalahnya apakah Bank Indonesia (BI) menerapkan satu standar teknologi atau sistem yang digunakan?

Sejauh yang Anda lihat, apakah standarisasi itu sudah ada dan dilakukan BI?

Saya pikir mungkin tidak karena setiap bank rasanya punya keleluasaan untuk memilih sistem atau teknologi yang mereka gunakan. Bukan hanya standar dari sisi sistem dan teknologinya saja, tetapi juga dalam monitoring, audit teknologi dan sistem. Bank mengaku melakukan audit teknologi secara berkala semacam yang mereka lakukan.

Ini bagian dari kejahatan sistem teknologi informasi yang dilakukan via ATM. Sebaik apapun sistem yang kita bangun, para penjahat tentu juga memiliki kreatifitas untuk menerobos hal ini. Apa yang harus dibenahi dan mulai dari mana?
Pertama kontrol dari sisi bank. Ada yang lebih pintar dari pihak bank yang mungkin bisa menyalahgunakan itu. Paling tidak, bank melakukan sistem pengawasan atau kontrol berkala dengan benar. Satu hal lagi yang mungkin kurang dilakukan pihak perbankan adalah verifikasinya. Bagaimana langkah mereka ketika menerima atau mendapatkan ada yang aneh dalam satu transaksi. Menurut kita sebagai nasabah, seharusnya ada alat sistem dari sisi perbankan untuk melihat transaksi ini wajar atau tidak.

Kita, dari pihak konsumen atau nasabah, selalu menginginkan ada transparansi untuk bisa mengakses informasi atau data sehingga ada akuntabilitas. Namun perbankan melihat bahwa itu merupakan kerahasiaan bank. Bagaimana mempertemukan kedua hal ini?

Ini berarti ada kasus di sisi nasabah yang ingin mendapatkan informasi lebih jauh mengapa ini terjadi terutama untuk transaksi-transaksi yang tidak mereka lakukan. Bank seharusnya bisa lebih fleksibel dalam kaitan dengan kasus-kasus khusus tadi. Bank semestinya tidak kaku berpegang pada sistem dan teknologi yang dia miliki tanpa melihat hal-hal lain yang seharusnya menjadi perhatian mereka juga. Saya pikir mungkin fleksibilitas dalam beberapa hal perlu dimiliki oleh bank terutama oleh pengusutan yang terkait dengan kerugian nasabah.

Sebagai upaya untuk menyelesaikan kasus ini dan sekaligus membangun kepercayaan publik terhadap bank. Kabarnya, bank akan meluncurkan produk pada Februari ini. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Saya pikir kalau terkait dengan ATM seperti teknologi yang digunakan saat ini masih sangat mudah untuk dicopy. Mereka akan mengarah kepada teknologi dengan menggunakan chip seperti beberapa kartu kredit yang sudah menggunakan itu. Tapi di sini yang namanya terkait dengan teknologi, ada saja celahnya. Mungkin dalam hal ini lebih sulit dibobol saja. Tapi satu hal yang perlu diperhatikan bahwa pada saat kita akan menerapkan teknologi yang baru, potensi-potensi atau celah-celah yang bisa disalahgunakan sudah harus diantisipasi oleh BI atau perbankan. Mereka mengatakan bahwa mengganti sistem merupakan persoalan biaya dan lain-lain. Kita mengharapkan itu tidak menjadi beban nasabah lagi karena selama ini sudah begitu banyak biaya-biaya yang diterapkan oleh bank.

Itu termasuk setiap transaksi yang kita lakukan melalui ATM sering dikenakan biaya. Apakah itu seharusnya menjadi bagian dari perhatian perbankan?

Dengan kita sudah membayar biaya administrasi bank, sebenarnya kita memenuhi atau membayar transaksi yang dilakukan. Tapi masih banyak sekali biaya yang dikenakan kepada kita terutama dari bank yang tidak sama. Bahkan dari bank yang sama pun asalkan lain kota maka bisa dikenakan biaya. Nanti akan menjadi alasan juga untuk menambah biaya bank karena mengubah sistem. Saya pikir itu yang harus menjadi perhatian bank dan BI karena yang mereka tawarkan adalah jaminan keamanan nasabah dan itu menjadi tanggung jawab mereka.

Jika kita telusuri atau refleksikan lebih jauh, sesungguhnya kerugian yang dialami oleh nasabah bisa berdampak kepada kerugian bank karena bisa saja kemudian menimbulkan krisis kepercayaan terhadap dunia perbankan. Bagaimana Anda melihat hal ini?
Mungkin kasus ini bisa menjadi pembelajaran bagi bank. Selama ini bank tidak peduli saat kasus tersebut muncul satu persatu, dan cenderung diabaikan oleh bank. Kita melihat respon bank sekarang terkait kebetulan sifat kasusnya masal walaupun tidak kita harapkan sebagai nasabah. Mereka memberikan respon yang lebih baik, misalnya, memberikan jaminan penggantian dan semacamnya. Jadi saya pikir seharusnya bank tidak bersifat reaktif termasuk juga BI. Selain jaminan penggantian, security system juga harus dibenahi. Kontrol bank pun harus diperbaiki, bukan hanya dari sisi bank saja tapi dari kontrol BI sebagai pengawas bank juga harus dibenahi dan ditingkatkan. Itu yang kita harapkan ke depan. Bukan hanya sekadar reaksi sesaat karena ada kasus, setelah itu kembali lagi terjadi kasus-kasus sejenis dengan modus yang mungkin berbeda lagi.

Kejahatan bisa diredam atau diperkecil jika ada perangkat hukum yang bisa menimbulkan efek jera terhadap para pelaku kejahatan. Apa perangkat hukum yang bisa menimbulkan efek jera?
Kalau kasus seperti tadi sebenarnya kriminal. Jika ada kejahatan pidana kriminal maka ditangani polisi. Harapan kita adalah bagaimana tindak lanjut dari penangkapan-penangkapan yang sudah dilakukan kepolisian saat ini. Kita tidak menginginkan hal ini hilang di jalan. Kadang-kadang laporan kepolisian hilang begitu saja. Kita harapkan benar-benar ada penelusuran tuntas dan ada penegakan hukum atau penerapan sanksi hukuman yang memang benar-benar bisa menjerakan karena keuntungan yang mereka peroleh mungkin sangat besar. Kalau hukumannya hanya bulan atau tahun, bisa sangat tidak berarti dan tidak membuat efek jera. Saya pikir kepolisian dalam menelusuri dan mengusut hal ini menjadi hal yang sangat penting agar nasabah lebih mempercayai sistem yang sudah berjalan.

Kalau seandainya bank lalai untuk melakukan sebuah security system yang lebih baik dan memadai, bukan tidak mungkin orang kemudian mengatakan bank melakukan toleransi terhadap kejahatan ini, betulkah begitu?

Bisa jadi begitu, dan katanya ada juga orang dalam bank yang terlibat di situ. Untuk kejahatannya sendiri harus ada hukuman yang setimpal. Dari sisi bank, tidak hanya secara sistem yang harus diperbaiki, tapi juga sumber daya manusia (SDM) di dalam bank seperti bagaimana pengawasannya sehingga tidak terjadi orang-orang dalam yang memberi celah yang bisa dimanfaatkan dengan lebih baik lagi oleh para penjahat.

Terhadap kasus ini, apa advokasi yang sudah dilakukan oleh lembaga Anda?
Kita mengharapkan jaminan standar keamanan yang dilakukan bank harus diperjelas atau dipertajam, juga dari sisi daya peran BI. Satu hal yang sebenarnya ingin saya singgung terkait dengan hal ini, selama ini bank punya sistem dan kebijakan sendiri. Mereka rata-rata untuk transaksi dalam jumlah kecil, baik pengambilan ataupun pengiriman dana dalam jumlah tertentu, selalu mendorong atau memaksa nasabah untuk menggunakan ATM. Kalau nasabah berhadapan dengan teller atau nasabah datang ke antrian di dalam bank maka dikenakan biaya tertentu. Banyak bank rata-rata memberlakukan seperti itu. Untuk jumlah tertentu, nasabah "tidak diterima" bertransaksi secara langsung dengan petugas bank karena dia dikenakan biaya.

Bukankah dengan mekanisme atau pola seperti itu jauh lebih aman?

Bagi sebagian masyarakat. Saya ingin menjelaskan bahwa selama ini masyarakat dipaksa "menggunakan ATM". Tapi ternyata ATM tidak bisa menjamin keamanan uang nasabah juga. Sementara kita tahu banyak nasabah yang masih lebih nyaman untuk berhadapan langsung, melakukan transaksi langsung karena dia bisa menghitung uangnya secara langsung di depan petugas bank. Itu seharusnya juga tidak diabaikan oleh bank, ada kebutuhan-kebutuhan nasabah yang seperti itu. Dalam hal ini saya mengatakan agar pilihan itu tetap terbuka. Mereka yang ingin cepat dan nyaman maka pergunakanlah ATM, tapi mereka yang lebih nyaman berhadapan langsung tetap boleh menggunakan cara konvensional. Saya pikir alternatif pelayanan itu jangan ditutup oleh pihak bank.

Kata kuncinya adalah dibutuhkan sebuah evaluasi secara komprehensif yang dilakukan oleh BI dan dunia perbankan secara umum. Terkait dengan hal ini, apa harapan Anda ke depan?
Bank adalah tempat nasabah menitipkan atau menyimpan uangnya. Sekarang kampanye Ayo ke Bank juga sangat luas. Siapapun didorong untuk bisa mengakses bank. Mau tidak mau ada unsur bisnis kepercayaan di sini, mungkin seperti kesehatan dengan dokter. Ada beberapa hal yang saya pikir bisa membangun kepercayaan nasabah atau calon nasabah pada bank. Pertama, transparasi dalam produk bank yang ditawarkan, termasuk kita bicara biaya, risiko, bunga, keuntungan, benefit atau apapun. Selama ini yang lebih dimunculkan oleh bank adalah persoalan benefitnya. Persoalan risiko dan lain-lain biasanya tidak secara langsung disampaikan kecuali kalau konsumennya cukup cerdas untuk bertanya. Hal lain adalah saat ini bank punya produk-produk yang sebetulnya tidak sepenuhnya produk bank, kemudian ditawarkan oleh bank. Sementara produk-produk itu tidak ada dalam jaminan bank, artinya tidak dalam Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau semacam itu. Informasi itu juga sangat penting, transparansi dalam hal itu juga sangat penting. Jadi nasabah bisa tahu, apakah ini benar-benar produk bank yang mendapat jaminan dari negara melalui LPS atau produk turunan bank yang tidak didalam lingkup itu. Saya pikir hal-hal itu yang bisa mengangkat kembali kepercayaan bank. Satu hal lagi, pengaduan-pengaduan atau complain yang disampaikan oleh nasabah direspon dengan baik atau tidak. Itu juga menentukan bahwa bank tersebut baik atau tidak.


Grabbed from : www.perspektifbaru.com

No comments:

Post a Comment